Psikologi Remaja
Rangkuman
Judul : Psikologi Remaja
Pengarang : Dr. Sarlito Wirawan Sarwono
BAB I
DEFINISI REMAJA
I. DEFINISI MENURUT HUKUM INDONESIA
Konsep ”remaja” tidak dikenal dalam sebagian undang-undang yang berlaku.
Contoh data :
Hukum Perdata
Usia ≥ 21 tahun (atau kurang tapi sdh menikah) à dewasa
Usia < 21 tahun (dan belum menikah) à
masih butuh wali untuk melakukan tindakan hukum perdata (mis.
Mendirikan perusahaan atau membuat perjanjian di hadapan pejabat hukum)
Hukum Pidana
Usia ≥ 18 tahun (atau kurang tapi sdh menikah) à dewasa
Usia < 18 tahun (blm menikah) à anak-anak (msh mjd tgjwb orang tua), contoh: jika melakukan
pencurian tdk disebut tindakan kejahatan (kriminal) tapi disebut
”kenakalan”, jika tindakan tersebut patut dijatuhi hukuman negara dan
orang tuanya ternyata tidak mempu mendidik anak itu lebih lanjut maka
mjd tgjwb negara dan dimasukkan ke dalam lembaga pemasyarakatan khusus
anak-anak (di bawah Departemen Kehakiman)
Undang-undang Kesejahteraan Anak (UU No.4 / 1979)
Usia < 21 tahun à
anak-anak, berhak mendapat perlakuan dan kemudahan-kemudahan yang
diperuntukkan bagi anak (misal : pendidikan, perlindungan dari orang
tua, dll.)
UU Lalu Lintas
Usia ≥ 18 tahun à SIM A (SIM kendaraan roda 4 berbobot < 2 ton)
Usia ≥ 21 tahun à SIM B I ke atas (SIM kendaraan roda 4 > 2 ton)
Usia ≥ 16 tahun à SIM C (kendaraan roda 2)
UU
tidak mengecualikan mereka yang sudah menikah di bawah usia tersebut
dan memperlakukan semua di bawah usia tsb sebagai belum cukup umur atau
belum dewasa.
Hanya UU Perkawian saja yang mengenal konsep remaja walau tidak terbuka.
UU Perkawinan
Pasal 7 UU no.1 1974 ttg Perkawinan
Usia 16 tahun (wanita) & 19 tahun (pria) à usia minimal suatu perkawinan
Usia < 21 tahun à masih dibutuhkan izin orang tua untuk menikahkan
Usia ≥ 21 tahun à sudah tidah dibutuhkan izin orang tua untuk menikahkan
Jadi usia 16/19 s/d 21 tahun à dianggap belum dewasa penuh à disejajarkan dengan pengertian-pengertian ”remaja” dalam ilmu sosial
II. REMAJA DITINJAU DARI SUDUT PERKEMBANGAN FISIK
Remaja adalah :
masa pematangan fisik (± 2 tahun) : ”PUBERTAS”
wanita à dihitung mulai haid pertama
laki-laki à dihitung mulai mimpi basahnya
Istilah :
Inggris à ”Puberty”
Latin à (1) The Age of Manhord (Usia Kedewasaan), (2) “Pubescere” (pertumbuhan rambut di daerah tulang ‘pusic’ / di bawah kemaluan)
Note :
Sulit
menentukan batas umur remaja, karena proses biologis tersebut
dipengaruhi keadaan lingkungan, khususnya keadaan gizi yang lebih baik
yang mempercepat pertumbuhan organisme seksual manusia . Usia menarche
(awal haid) dipengaruhi oleh hubungan antar jenis yang serba boleh
(permisif), sehingga mempercepat kematangan tubuh.
III. REMAJA MENURUT WHO
Remaja adalah seuatu masa dimana :
1. individu
berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual
sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual
2. individu mengelami perkembangan psikologik dan pola identifikasi dari anak-anak menjadi dewasa
3. terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang lebih mandiri
(Muangman, 1980, hal. 9)
WHO menetapkan usia 10-20 tahun à Remaja
Karena
kehamilan dalam usia-usia tersebut mempunyai resiko yang lebih tinggi
daripada kehamilan dalam usia-usia di atasnya. (Sanderowitz dan Paxman,
1985)
Penetapan umur tersebut diberlakukan juga pada laki-laki.
WHO membagi 2 tahap remaja :
1. Remaja awal : 10-14 tahun
2. Remaja akhir : 15-20 tahun
Usia pemuda berdasarkan :
- PBB à 15-24 tahun
- Sensus penduduk 1980 (di Indonesia) à 14-24 tahun
IV. DEFINISI SOSIAL-PSIKOLOGIK
Csikszentimilhalyi & Larson (1984, hal 19):
Menyatakan
bahwa puncak perkembangan jiwa itu ditandai dengan adanya proses
perubahan dari kondisi “Entropy (isi banyak tapi belum terkait dengan
baik)” ke kondisi “Negentropy (isi kesadaran tersusun dengan rapi,
pengetahuan yang satu terkait dengan pengetahuan yang lain dan
pengetahuan jelas hubungannya dengan sikap atau perasaan.
V. DEFINISI REMAJA UNTUK MASYARAKAT INDONESIA
Pedoman umum à usia 11-24 tahun dan belum menikah
BAB II
TINJAUAN TEORI
Awal mula konsep tentang remaja
*Konsep anak sudah dikenanl sejak abad ke-13
*Remaja
baru dikenal secara meluas dan mendalam pada awal abad ke-20 namun
tulisan-tulisan klasik yang menunjukkan indikasi tetantang remaja suda
ada sejak jaman filsuf Aristoteles (384-322 SM) dan J.J. Rousseau dalam
bukunya Emile (1762)
Tahap perkembangan jiwa menurut Aristoteles sbb :
1. 0-7 thn : masa kanak-kanak (infancy)
2. 7-14 th : masa anak-anak (boyhood)
3. 14-21 th : masa dewasa muda (young manhood)
(R.E. Muss, 1968, hal 15)
Batas usia 21 tahun tetap digunakan dalam kitab-kitab hukum bbbg negara, sebagai batas usia dewasa.
Empat tahap perkembangan Rousseau :
1. 0-4/5 thn à masa kanak-kanak (infancy)
2. 5-12 thn à masa bandel (savage state)
3. 12-15 thn à bangkitnya akal (ratio), nalar (reason) dan kesadaran diri (self conciosness)
4. 15-20 thn à masa kesempurnaan remaja (adolescene proper) dan merupakan puncak perkembangan emosi.
(R.E. Muss, 1968, hal 27-30)
Teori Rousseau yang
merekapitulasi (meringkas) perkembangan evolusi umat manusia pada
perkembangan individu manusia mempunyai pengikut di awal abad ke 20
yaitu G.S Hall (1844-1924) sarjana psikologi Amerika Serikat yang oleh
beberapa buku teks disebut sebagai Bapak Psikologi Remaja.
Petro Bloss (1962)
Proses penyesuaian diri menuju kedewasaan, ada 3 tahap perkembangan remaja :
- Remaja Awal (Early Adolescene)
- masih heran pada diri sendiri
- mengembangkan fikiran baru
- cepat tertarik pada lawan jenis
- kurang kendali thd “ego” (sulit mengerti dan dimengerti orang lain)
- Remaja Madya (Midle Adolescene)
- membutuhkan kawan-kawan
- cenderung ”narcistic” (mencintai dirinya sendiri, suka dengan teman-teman yang memiliki sifat yang sama / mirip dengan dia)
- labil
- Remaja Akhir (Late Adolescene)
Masa konsolidasi menuju periode dewasa dan ditandai dengan pencapaian 5 hal berikut :
a. minat terhadap fungsi-fungsi intelektual
b. egonya mencari kesempatan bersatu dengan orang-orang lain dan dalam pengalaman-pengalaman baru
c. identitas seksual tidak brubah lagi
d. egosentrisme diganti dengan keseimbangan anatara kepentingan sendiri dengan orang lai
e. tumbuh ”dinding” yang memisahkan diri pribadinya dan maayarakat umum
John Amos Comenius (1592-1670)
” Teori pendidikan yang berwawasan perkembangan jiwa yang didasarkan pada teori Psikologis Fakultas”
Pembagian tersebut adalah dalam 4 tahap, @ lamanya 6 tahun :
1. 0-6 tahun à pendidikan oleh ibu sendiri (mother school) untuk mengembangkan bagian dari jiwa (=fakultas) penginderaan dan pengamatan
2. 6-12 tahun à
pendidikan dasar (elementary education) sesuai dengan berkembangnya
fakultas ingatan (memory) dan diberikanlah dalam tahap ini
pelajaran-pelajaran bahasa, kebiasaan-kebiasaan sosial dan agama.
3. 12-18 tahun à
sekolah lanjutan (latin school) sesuai dengan berkembangnya fakultas
penalaran (reasoning). Pada tahap ini anak-anak dilatih untuk mengerti
prinsip-primsip kausalitas (hub. Sebab akibat) melalui pelajaran tata
bahasa, ilmu alam, matematika, etika, dialektika dan retorika.
4. 18-24 tahun à pendidikan tinggi (universitas) dan pengembangan(travel) untuk mengembangkan fakultas kehendak (faculty of will)
(R.E. Muss, 1968, hal.21-23)
Kurt Lewin
Tingkah laku yang menurut pendapatnya akan selalu tdpt pada remaja :
- Pemalu dan perasa, tetapi cepat marah dan agresif sehubungan belum jelasnya batas-batas antara berbagai sektor di lapangan psikologik remaja.
- Ketidakjelasan batas-batas ini menyebabkan pula remaja terus-menerus merasakan pertentangan antara sikap, nilai, ideologi, dan gaya hidup
- Konflik sikap, nilai dan ideologi tersebut di atas muncul dalam bentuk ketegangan emosi yang meningkat.
- Ada kecenderungan pada remaja untuk mengambil posisi yang sangat ekstrim dan mengubah kelakuannya secara drastis, akibatnya sering muncul tingkah laku radikal dan memberontak di kalangan remaja.
- Bentuk-bentuk khusus dari tingkah laku remaja pada berbagai individu yang berbeda akan sangat ditentukan oleh sifat dan kekuatan dorongan-dorongan yang saling berkonflik di atas
(Muss, 1968, hal. 95)
BAB IV
PERKEMBANGAN PSIKOLOGIK REMAJA
Pembentukan Konsep Diri
Remaja adalah masa transisi dari periode anak ke dewasa.
Secara
psikologik kedewasaan adalah keadaan di mana sudah ada ciri-ciri
psikologik teretentu pada seseorang. Ciri-ciri psikologik itu menurut
G.W. Allpoert (1961, Bab VII) adalah :
- Pemekaran diri sendiri (extention of the self) :
- egoisme berkurang
- rasa memilliki meningkat
- mencintai orang lain dan alam sekitar
- kemampuan tenggang rasa
- Kemampuan untuk melihat diri sendiri secara objektif (sel objectivication) :
- kemampuan mempunyai wawasan tentang diri sendiri (self insight)
- kemampuan untuk menangkap humor (sese of humor)
- tidak marah jika dikritik
- dapat mengevaluasi dir
- Memiliki filsafat hidup tertentu (unifying philosophy of life) :
- tidak mudah terpengaruh
- pendapat-pendapatnya dan sikapnya cukup jelas dan tegas
Menurut
Richmond dan Slansky (1984, hlm.110-111) inti dari tugas perkembangan
seseorang dalam periode remaja awal dan menengah adalah memperjuangkan
kebebasan. Sedangkan menemukan bentuk kepribadian yang khas (yang oleh
Allport dinamakan ”unifying philosophy of life”) dalam periode itu belum
menjadi sasaran utama.
Perkembangan Intelegensi
Intelegensi adalah -David Wechsler (1958)- :
Keseluruhan
kemampuan individu untuk berfikir dan bertindak secara terarah serta
mengolah dan menguasai lingkungan secara efektif.
Intelegensi
memang mengandung unsur fikiran atau ratio. Makin banyak unsur ratio
yang digunakan dalam suatu tindakan atau tingkah laku, makin
berintelegensi tingkah laku tersebut.
Ukuran intelegensi dinyatakan dalam IQ (Intelligence Quotient).
Perhitungan :
Orang Dewasa
Dengan
cara memberikan seperangkat pertanyaan yang terdiri dari berbagai soal
(hitungan, kata-kata, gambar-gambar dan lain-lain) dan menghitung berapa
banyaknya pertanyaan yang dapat dijawab dengan benar dan
membandingkannya dengan sebuah daftar (yang dibuat berdasarkan
penelitian yang terpercaya) maka didapatkanlah nilai IQ yang
bersangkutan.
Anak-anak
Dengan
menyuruh mereka melakukan pekerjaan tetentu dan menjawab pertanyaan
tertentu (misalnya: menghitung sampai 10 atau 100, menyebut nama-nama
hari atau bulan, membuka pintu dan menutupnya kembali, dan lain-lain).
Jumlah pekerjaan yang bisa dilakukan anak kemudian dicocokkan dengan
membuat daftar untuk mengetahui usia mental (mental age = MA) anak.
Makin banyak yang bisa dijawab atau dikerjakan anak, makin tinggi usia
mentalnya. Usia mental ini kemudian dibagi dengan usia kalender
(callender age = CA) dan dikalikan 100, maka didapatkan IQ anak.
Rumus : IQ = MA/CA x 100
Teori intelegensi yang meninjaunya dari sudut perkembangan dikemukakan oleh Jean Piaget (1896-1980). Piaget berpendapat bahwa setiap orang mempunyai sistem pengaturan dari dalam pada sistem kognisinya. Sistem pengaturan ini terdapat sepanjang hidup sesorang dan berkembang sesuai dengan perkembangan aspek-aspek kognitif yaitu :
- Kematangan, merupakan perkembangan susunan syaraf shg misalnya fungsi-fungsi indera menjadi lebih sempurna.
- Pengalaman, yaitu hubungan timbal balik dengan lingkungannya.
- Transmisi sosial, yaitu hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial antara lain melalui pengasuhan dan pendidikan dari orang lain.
- Ekuilibrasi, yaitu sistem pengaturan dalam diri anak itu sendiri yang mampu mempertahankan keseimbangan dan penyesuaian diri terhadap lingkungannya. (Gunarsa, 1982, hlm.140-141)
Sistem pengaturan mempunyai 2 faktor :
- Skema
Adalah pola yang teratur yang melatarbelakangi suatu tingkah laku.
- Adaptif
Adalah penyesuaian terhadap lingkungan yang bersangkut-paut dengan tujuan dan perjuangan hidup.
Tahap-tahap perkembangan kognitif menurut Piaget adalah sebagai berikut (Gunarsa, 1982, hlm.146-161; Piaget, 1959, hlm.123)
- Tahap I : Masa sensori-motor (0-2.5 tahun)
Masa ketika bayi mempergunakan sistem penginderaan dan aktivitas motorik untuk mengenal lingkungannya.
- Tahap II : Masa praoperasional (2.0-7.0 tahun)
Ciri khasnya adalah kemampuan menggunakan simbol, yaitu mewakili sesuatu yang tidak ada.
- Tahap III : Masa konkrit-operasional (7.0-11.0 tahun)
Sudah bisa melakukan berbagai macam tugas yang konkrit. Ia mulai mengembangkan 3 macam operasi berfikir, yaitu :
a. Identitas : mengenali sesuatu
b. Negasi : mengingkari sesuatu
c. Resiprokasi : mencari hubungan timbal baik antara beberapa hal
- Tahap IV : Masa formal-operasional (11.0-dewasa)
Dalam usia remaja dan seterusnya sesorang sudah mampu berfikir abstrak dan hipotetis.
Masa
remaja adalah masa yang penuh emosi. Salah satu ciri periode ”topan dan
badai” dalam perkembangan jiwa manusia ini adalah emosi yang
meledak-ledak, sulit untuk dikendalikan. Plato menyamakan emosi remaja
ini dengan ”api”. Di satu pihak emosi yang memnggebu-gebu ini memang
menyulitkan, terutama untuk orang lain (termasuk orang tua dan guru)
dalam mengerti jiwa si Remaja. Tetapi di lain pihak, emosi yang menggebu
ini bermanfaat untuk remaja itu terus mencari identitas dirinya.
Perkembangan Peran Sosial
Gejolak
emosi remaja dan masalah remaja lain pada umumnya disebakan antara lain
oleh adanya konflik peran sosial. Di satu pihak ia sudah ingin mandiri
sebagai orang dewasa, di lain pihak ia masih harus terus mengikuti
kemauan orang tuanya.
Konflik
peran yang dapat menimbulkan gejolak emosi dan kesulitan-kesulitan lain
pada masa remaja dapat dikurangi dengan memberi latihan-latihan agar
anak dapat mandiri sedini mungkin. Dengan
kemandiriannya anak dapat memilih jalannya sendiri dan ia akan
berkembang lebih mantap. Oleh karena ia tahu dengan tepat saat-saat yang
berbahaya di mana ia harus kembali berkonsultasi dengan orang tuanya
atau dengan orang dewasa lain yang lebih tahu dari dirinya sendiri.
Perkembangan Peran Seksual
Ada 4 macam manusia ditinjau dari peran seksualnya, yaitu :
- Tipe maskulin, yaitu yang sifat kelaki-lakiannya di atas rata-rata, sifat kewanitaannya kurang dari rata-rata.
- Tipe feminin, yaitu yang sifat kewanitaannya di atas rata-rata, sifat kelaki-lakiannya kurang dari rata-rata.
- Tipe androgin, yaitu yang sifat kelaki-lakian maupun kewanitaannya di atas rata-rata.
- Tipe tidak tergolongkan (undiferentiated), yaitu yang sifat kelaki-lakiannya maupun kewanitaannya di bawah rata-rata.
(Wrightsman, 1981, hlm.445)
Perkembangan Moral dan Religi
Religi
yaitu kepercayaan terhadap kekuasaan suatu zat yang mengatur alam
semesta ini adalah sebagian dari moral, sebab dalam moral sebenarnya
diatur segala perbuatan yang dinilai baik dan perlu dilakukan suatu
perbuatan yang dinilai tidak baik sehingga perlu dihindari. Agama,
oleh karena mengatur juga tingkah laku baik-buruk, secara psikologik
termasuk dalam moral. Hal lain yang termasuk dalam moral adalah
sopan-santun, tata krama, dan norma-norma masyarakat lain.
Kohlberg membagi perkembangan moral dalam 3 tahap yang masing-masing dibagi lagi dalam 2 tingkatan :
- Tahap I (tingkat 1 dan 2) : Tahap Prakonvensional
Tingkat 1 à pedoman mereka hanyalah hindari hukuman
Tingkat 2 à sudah ada pengertian bahwa untuk memenuhi kebutuhan sendiri, seseorang juga harus memikirkan kepentingan orang lain.
- Tahap II (tingkat 3 dan 4) : Tahap Konvensional
Setuju
pada aturan dan harapan masyarakat dan penguasa, hanya karena memang
sudah demikianlah keadaannya. Terjadi pada remaja dan sebagian besar
orang dewasa.
- Tahap III (tingkat 5 dan 6) : Tahap Pasca Konvensional
Terjadi
pada sebagian orang dewasa. Tahap ini mendasarkan penilaian mreka
terhadap aturan dan harapan masyarakat pada prinsip-prinsip moral umum.
Tingkat 1 à kontak sosial atau hak individu
Tingkat 2 à prinsip etika universal
(Lickona, 1975, hlm. 32-33)
BAB V
REMAJA SEBAGAI SUBKULTUR
Masyarakat Transisi
Masyarakat transisi dalam istilah J. Useem dan R.H. Useem dinamakan ”modernizing society”. Masyarakat
ini adalah masyarakat yang sedang mencoba untuk membebaskan diri dari
nilai-nilai masa lalu dan menggapai masa depan dengan terus menerus
membuat niali-nilai baru atau hal-hal baru.
Menurut
Emile Durkheim, keadaan masyarakat transisi akan membawa individu
anggota masyarakat kepada keadaan ’anomie’. Anomie menurut Durkheim
adalah ”normlessness” yaitu suatu sistem sosial dimana tidak ada
petunjuk atau pedoman buat tingkah laku. Jadi adalah keadaan ekternal
seperti dalam keadaan hukum rimba yang terdapat dalam masyarakat yang
tiba-tiba dilanda perang. Kebiasaan-kebiasaan dan aturan-aturan yang
biasa berlaku tiba-tiba tidak berlaku lagi. Akibatnya adalah
”individulaisme” dimana individu-individu bertindak hanya menurut
kepentingannya masing-masing (Durkheim, 1951)
Kondisi anomie ini tentu saja tidak hanya berlaku terhadap anggota masyarakat dewasa, melainkan juga terhadap para remaja.
Merton
selanjutnya menyatakan bahwa anomie juga menunjuk pada manusia yang
”ambivalent” (tidak jelas nilai yang dianutnya) dan ”ambigous” (tidak
jelas bentuk kelakuannya) dalam masyarakat yang juga tidak konsisten
(Merton,1957). Akibatnya memang ada manusia-manusia yang bertingkah laku
konform, yaitu menerima nilai (oleh Merton diartikan sebagai tujuan
umum dari suatu kebudayaan) dan norma (artinya aturan-aturan khusus dari
lembaga masayarakat tertentu). Remaja-remaja yang menerima apa saja
yang dikatakan orang tua mereka untuk mencapai gelar sarjana adalah
contoh dari jenis konform ini.
Akan
tetapi selanjutnya Merton mengatakan bahwa disamping mereka yang
bersikap konform terhadap nilai dan norma, ada orang-orang yang
menentang (bertingkah laku ”deviant” atau menyimpang) nilai atau norma
itu atau kedua-duanya.
Tingkah laku menentang digolongkan ke dalam 4 jenis (Merton) :
- ”innovation”
Yaitu tingkah laku yang menyetujui nilai tetapi menentang norma. Akibatnya bisa negatif dan positif.
- ”Ritualism”
Yaitu tingkah laku yang menolak nilai-nilai tetapi menerima norma.
- ”Retreatism”
Yaitu
pengingkaran terhadap nilai maupun norma. Bentuk reaksinya adalah
pelarian-pelarian dari nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku.
- ”Rebellion”
Yaitu
pemberontakan, menolak nilai-nilai dan norma-norma yang ada tapi
mengadopsi nilai-nilai dan norma-norma yang lain yang berasal dari luar
masyarakatnya.
Remaja Sebagai Anggota Keluarga
WAR (World of Abnormal Rearing)
Definisi : kondisi
dimana lingkungan tidak memungkinkan anak untuk mempelajari
kemampuan-kemampuan yang paling dasar dalam hubungan antar manusia
(Kempe & Helfer, 1980, hal.38).
Ciri-ciri WAR (diantaranya) :
- Anak dipukuli (pada sebagian keluarga WAR)
- Anak disalahgunakan secara seksual (misalnya dijadikan korban incest atau dipaksakan kawin pada usia masih kanak-kanak, ini pun hanya pada sebagian keluarga WAR)
- Anak tidak dperdulikan (ini lebih banyak terjadi)
- Anak dianggap seperti anak kecil terus atau dianggap tidak berarti (paling banyak terjadi)
Akibat WAR : anak-anak menjadi terkekang sehingga tidak dapat berfungsi dengan baik di luar rumah sendiri.
Secara sosiologis, faktor-faktor yang ada kaitannya dengan penelantaran dan penyalahgunaan anak ini menurut Wolf (1981) adalah sebagai berikut :
- Tidak terpantau tetangga, karena cenderung terisolasi (dalam masyarakat modern).
- Kepentingan bersama anak dan orang tua makin lama makin melemah sehingga makin banyak pasangan suami-istri yang tidak ingin mempunyai anak dan kalau ada anak di rumah mudah timbul sikap negatif pada anak-anak.
- Anggota-anggota keluarga makin jarang di rumah.
- Anak menjadi objek dari ambisi-ambisi pendidikan.
- Tekanan ekonomi dan mereka tidak dapat keluar dari sana.
Remaja di Sekolah
Faktor
yang berpengaruh di sekolah bukan hanya guru dan sarana pendidikan saja,
tetapi lingkungan pergaulan antar teman pun besar pengaruhnya.
Remaja dalam Masyarakat
Masyarakat
sebagai lingkungan tertier (ketiga) adalah lingkungan yang terluas bagi
remaja dan sekaligus paling banyak menawarkan pilihan. Terutama dengan
maju pesatnya teknologi komunikasi massa maka hampir-hampir tidak ada
batas-batas geografis, etnis, politis, maupun sosial antara satu
masyarakat dengan masyarakat lain. Istilah, gaya hidup, nilai dan
perilaku dimasyarakatkan melalui media massa ini, pada gilirannya remaja
akan dihadapkan kepada berbagai pilihan yang tidak jarang menimbulkan
pertentangan batin di dalam remaja itu sendiri. Pertentangan batin itu
bisa berupa ”konflik” (menurut istilah Kurt Lewin) yang ada beberapa
macam jenisnya (Sarlito, 1986), yaitu :
- Konflik mendekat-mendekat : dimana ada dua hal yang sama kuat nilai positifnya, tapi saling bertentangan.
- Konflik menjauh-menjauh : dimana ada dua hal yang harus dihindari akan tetapi tidak mungkin keduanya dihindari sekaligus.
- Konflik mendekat-menjauh : yaitu jika suatu hal tertentu sekaligus mengandung nilai posistif dan negatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar